Denny JA versus Rocky Gerung dalam Pertarungan Pilpres 2019
Pena7.com- Dalam pilpres 2019, yang bertarung tak hanya pasangan calon presiden dan Tim kampanye masing masing. Ikut bertarung pula dua intelektual dan aktivis yang mungkin saat ini paling menonjol di generasinya: Denny JA dan Rocky Gerung.
Dari segi kubu pemikiran, sebenarnya mereka berdua datang dari kutub yang tak berbeda: mengutamakan kebebasan, demokrasi, dan cara berpikir kritis. Keduanya mendalami politik, filsafat hingga sastra. Keduanya canggih dalam seni bicara dan menulis.
Namun di pilpres kali ini, mereka berdua berada di kubu yang berbeda, bahkan bersebrangan. Rocky menjadi pengkritik Jokowi sangat keras, bahkan cenderung sinis. Denny JA pembela Jokowi dengan segala kembangannya, dan pengkritik kubu Prabowo.
Saya mengamati, ada empat perbedaan mendasar keterlibatan dua tokoh ini. Perbedaan tersebut sekaligus juga menggambarkan dua pilihan yang berbeda bagi aktivis dan intelektual untuk terlibat dalam politik praktis seperti pemilu presiden.
-000-
Pertama, pilihan pribadi versus kerja profesional
Terasa Rocky Gerung mengambil jarak dari Jokowi dan mengkritiknya itu sebagai bagian pilihan pribadi. Memang ada aneka suara yang menyatakan Rocky bagian dari paket Cikeas yang diperbantukan kepada Prabowo. Sejak pilkada DKI memang Rocky ikut mendampingi AHY.
Namun saya tak melihat paket Cikeas pada kerja Rocky Gerung. Apalagi memasuki 60 hari menjelang pilpres, Kelompok Cikeas semakin gamang dengan pilihannya ke Prabowo. Tapi Rocky tetap gas kencang mengkritik Jokowi.
Sedangkan Denny JA berada di kubu Jokowi karena kerja profesional. Denny dikenang sebagai the Founding Father dari profesi konsultan politik di Indonesia. Lebih dari separuh lembaga survei yang kini aktif pernah “berguru” atau nyanti di “pondok pesantrennya” : LSI.
Denny sudah terlibat dalam pilpres sejak pertama presiden dipilih langsung. Ia ikut memenangkan SBY di tahun 2004, 2009, dan Jokowi di tahun 2014.
Di tahun 2004, publik ingat bagaimana Denny berulang ulang meyakinkan publik hal yang hampir mustahil saat itu: bahwa SBY akan mengalahkan petahana Megawati. Tahun 2009, Denny lebih menonjol lagi menyatakan SBY akan menang Satu Putaran Saja. Tahun 2014, Denny JA bahkan dapat penghargaan dari Time Magazine, karena kerja media sosial dalam kampanye Jokowi.
Singkat kata, Rocky mengkritik Jokowi karena pilihan bebas sikap intelektual dan aktivisnya. Denny di kubu Jokowi karena kerja profesional seorang konsultan politik.
-000-
Kedua, keterlibatan individual versus kerja kelembagaan.
Hal lain yang berbeda antara Denny JA dan Rocky Gerung adalah corak mobilisasi pengaruh. Rocky mengandalkan kemampuan individualnya pribadi. Dalam acara TV ataupun kunjungan ke daerah, umumnya kerja mobilisasi Rocky Gerung adalah orasi dirinya pribadi.
Apapun topik awal yang ia bahas selalu ada “peluru” yang menyerang atau mengolok-olok Jokowi dan kubunya. Walau Rocky tak pernah mengklaim bagian tim sukses Prabowo, tapi panggung yang diberikan kepada Rocky di aneka daerah adalah panggung dari kubu Prabowo. Tapi semua ia lakukan melalui dirinya pribadi.
Sementara Denny JA bergerak tidak individual tapi dengan mesin politik. Di tingkat perang udara, LSI rutin dua kali sebulan konferensi pers yang membangun opini. Dalam konferensi pers itu, Denny JA tak pernah bicara. Yang bicara selalu para jenderal lapangannya, yang semakin beragam.
Di tingkat perang darat, ini kerja Denny JA yang lebih tersembunyi. Sejak pilpres 2004, yang “berbahaya” dari Denny JA justru kerja tim lapangannya, door to door, ke rumah rumah.
Di Youtube, jejak Denny JA dalam gerakan door to door masih bisa dilihat. Ia memberi pengarahan tim relawan di Jabar, Jateng dan Jatim dalam Pilpres 2014.
Denny selalu tak pernah tampil langsung di TV atau di rumah-rumah penduduk. Tim dan mesinnya yang bekerja.
Dalam kerja intelektual dan aktivisme politik, publik melihat Rocky langsung yang bekerja. Tapi untuk kasus Denny JA, tim Denny JA yang ada di lapangan, bukan ia pribadi.
-000-
Ketiga, Satu Jurus Versus Banyak Jurus
Perbedaan lain yang nyata antara Rocky Gerung versus Denny JA adalah “jurus silat” serangannya. Rocky Gerung terasa memainkan satu jurus saja. Ia hanya orasi. Apapun serangannya, sumbernya adalah orasi, memberi kuliah, talk show, seminar.
Sementara Denny JA karena ini memang profesi sejak lama, jurus silatnya lebih beragam. Ia mensuplai data survei ke publik. Ia menciptakan agenda yang menjadi bahan talk show TV, radio dan darat melalui isu kontroversial konferensi persnya.
Ia juga membuat meme, memframing isu setiap hari. Bahkan menurut Denny, di AS, meme ini dianggap “makanan cepat saji” dalam kampanye digital yang sedang in. Denny juga menyebarkan jurus door to door ke rumah rumah. Bahkan di hari pencoblosan, timnya menjemput pemilih ke TPS.
Sisi intelektual Denny juga terus dieksplor. Ia membuat polemik mengenai NKRI bersyariah versus Ruang Publik yang Manusiawi. Siapapun tahu, yang memahami data survei, bahwa NKRI Bersyariah ini memiliki efek melemahkan dukungan Prabowo di kalangan pemiilh minoritas dan Muslim moderat.
Bahkan Denny JA mengembangkan pelatihan Pancasila di 25 Provinsi. Tak tanggung- tanggung, ia memecahkan rekor dunia Guiness Book Of Record untuk pendidikan politik. Siapapun tahu, yang memahami data survei, isu Pancasila itu menguntungkan Jokowi karena berhadapan dengan NKRI Bersyariah yang ada di kubu Prabowo.
Rocky bergerak dengan satu jurus. Denny memiliki kembangan “pencak silat” yang banyak jurus.
-000-
Keempat: Menang versus Kalah.
Karena data survei di tangan, umumnya dalam Pilpres, publik meyakini Denny JA selalu berujung membela pihak yang akhirnya menang. Namun kita belum tahu akhir dari pilpres kali ini. Ketika tulisan dibuat, Pilpres belum selesai.
Inilah mungkin perbedaan mencolok antara Denny JA dan Rocky Gerung nanti. Denny JA berada di pihak yang menang. Rocky Gerung berada di pihak yang kalah. Atau sebaliknya?
Mari kita lihat bersama.
Perbedaan berada di pihak yang menang atau kalah sebagian itu instink dan kecerdasan membaca politik makro. Namun untuk kasus Denny JA, ia memiliki perangkat akademik karena memang sekolah soal ini sampai puncak ke Amerika Serikat sana.**
Oleh: Satrio Arismunandar (Praktisi media, lulusan S3 Filsafat FIB-UI)
pilpres sudah selesai..sdh jelas pemenangnya deny JA sdh tau itu.. skarang tinggal pileg aja pikirin hehehe