Konservasi Sumber Daya Alam Berbasis Bioprospecting

Kedelai (Glycine max (L.) Flora Endemik Indonesia Sebagai Peran Pengganti Pemenuhan Permintaan Kebutuhan Asam Lemak Omega-3

Jurnalmetropol.com – Dewasa ini, Asam lemak omega-3 seperti docosahexaenoic acid (DHA; C22:6) dan eicosapentaenoic acid (EPA; C20:5) telah mendapatkan perhatian yang semakin besar karena kemampuannya mengurangi risiko penyakit jantung, Alzheimer, gangguan bipolar, skizofrenia, dan diabetes tipe 2 (Petal et al., 2021).

Sementara itu, asam lemak omega-3 utama, yaitu α-linolenic acid (ALA; C18:3, n-3), yang melimpah dalam beberapa minyak nabati, dapat didenaturasi dan diperpanjang menjadi DHA dan EPA dalam tubuh manusia.

α-linolenic acid (ALA; C18:3, n-3) banyak ditemukan pada Ikan laut dan makanan laut yang merupakan satu-satunya sumber komersial asam lemak omega-3, baik melalui perikanan tangkap maupun budidaya.

Dengan populasi dunia mencapai 8 miliar jiwa, asupan harian yang direkomendasikan sebesar 500 mg EPA + DHA akan menghasilkan perkiraan konsumsi tahunan sekitar 1,5 juta ton metrik, yang jauh melampaui pasokan LC-PUFAs (asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang) dari sumber daya alam saat ini (Salem & Eggersdorfer, 2015).

Selain itu, pemanasan global diperkirakan akan mengurangi ketersediaan DHA dalam ikan sebesar 10–58% pada tahun 2100 (Schade et al., 2020).

Untuk menutup kesenjangan antara permintaan yang meningkat dan pasokan yang ada, alternatif untuk produksi PUFAs yang berkelanjutan dalam jangka panjang perlu dieksplorasi yang mana disebutkan pula Sustainable Development Goals (SDGs) secara khusus berfokus pada keanekaragaman hayati, seperti SDG 14 yang membahas ekosistem laut dan sumber daya kelautan.

Maka perlu dilakukan bioprospeksi dari material lain yang memiliki nilai DHA dan EPA yang serupa pada bahan lain untuk memenuhi peningkatan permintaan (Petal et al., 2021). Bioprospeksi sendiri memiliki makna sebagai eksplorasi potensi ekonomi dari sumber daya hayati, terutama dalam nilai nutrasetikal.

Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian besar telah diberikan pada berbagai sumber daya hayati untuk tujuan bioprospeksi (Tiwari et al., 2024).

Sebagai pemenuhan permintaan pasar yang meningkat, Petal et al., (2021) pada penelitiannya mengusulkan, menggantikan kebutuhan DHA dan EPA pada ikan dengan Tanaman laut yang juga memiliki kandungan yang dapat digunakan tanaman sebagai enzim lipogenik, termasuk kompleks fatty acid synthase (FAS) dan beberapa desaturase, untuk mensintesis asam oleat (C18:1), asam linoleat (LA; C18:2, n-6), ALA, asam γ-linolenat (GLA; C18:3, n-6), dan asam oktadekatetraenoat (18:4, n-3), namun tidak dapat mengakumulasi LC-PUFAs (asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang) karena tidak adanya enzim desaturase/elongase.

Pengenalan gen desaturase/elongase ke dalam tanaman melalui rekayasa genetika telah memungkinkanakumulasi asam eikosapentaenoat (DPA; C22:5), DHA, dan EPA pada tanaman seperti Brassica juncea, Brassica napus, Glycine max, Arabidopsis thaliana, dan Camelina sativa.

Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia (Kusnuriyanti et al., 2018). Analisis ester metil asam lemak dari tanaman T3 yang dibudidayakan di rumah kaca menunjukkan akumulasi tingkat EPA yang signifikan (~17% total asam lemak), menyatakan bahwa berfungsi dengan efisien mesin biosintesis omega-3 LC-PUFA heterolog melalui pendekatan rekayasa genetika.

Sebagai upaya mendefinisikan lebih tepat komposisi minyak dari berbagai jenis keledai, sampel lipid biji total yang diekstraksi dengan metode Soxhlet dianalisis menggunakan pemindaian survei kehilangan netral asam lemak ESI-MS/MS untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi spesies molekul triacylglycerol (TAG) yang ada pada tanaman yang berbeda.

Penggunaan metode ini pada spesies TAG dapat dipisahkan berdasarkan rasio massa terhadap muatan (m/z), yang ditentukan oleh panjang tiga asam lemak penyusunnya dan tingkat ketidak aturannya (jumlah ikatan ganda) . Dengan cara ini, kelimpahan spesifik spesies TAG yang terdiri dari asam lemak yang berbeda dapat diperkirakan.

Menurut (Petal et al., 2024) Tantangan penggunaan tanaman sebagai sumber asam lemak omega-3 terbatas oleh kerentanannya terhadap kondisi iklim saat ini dan ketersediaan lahan pertanian.

Jika dibandingkan dengan mikroorganisme penghasil minyak, seperti bakteri, jamur, dan mikroalga produksi asam lemak mikroba bervariasi sesuai dengan spesies dan kondisi pertumbuhannya.

Teknik rekayasa biokimia dan genetika dapat meningkatkan hasil senyawa yang diinginkan dan mencapai produksi skala komersial yang mampu dikembangkan lebih lanjut dari potensi yang sudah tersedia.

Oleh: Hadi Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *